Sejarah Abu Muda
Waly Al-Khalidy
Mengenang Hazratusy
Syeikh Muda Waly Al-Khalidy
Ayahku dilahirkan di
desa Blangporoh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada tahun
1917. Tidak ada yang mengetahui dari famili beliau tentang hari, tanggal dan
bulan, kapan beliau dilahirkan. Ini pada umumnya sering terjadi pada
orang-orang tua kita zaman dahulu. Meskipun mereka itu ulama atau guru, tetapi
soal mencatat hari dan tanggal kelahiran, lahirnya anak atau cucu, kurang
begitu diperhatikan, selain hanya diingat, tahun kelahiran saja. Teramasuk
diriku sendiri, untunglah aku mengetahui, bahwa hari dan tanggal kelahiranku
tiba-tiba aku melihat catatan dari ayahku pada satu kitab, bahawasanya
kelahiranku, adalah pada hari Rabu, atau Arba’a, 17 Disember 1936, pada pagi
harinya (menurut kata ibukandungku).
Beliau adalah putera
bungsu dari putera-puteri orang tua beliau yang bernama Syeikh Haji Muhammad
Salim bin Malin Palito. Sebenarnya ada lagi adik beliau, tetapi meninggal dunia
pada waktu beliau masih kecil.
Haji Muhammad Salim,
orang tua ayahku berasal dari Batusangkar, Sumatera Barat. Kalau aku tidak
salah ingat bahwa di Batusangkar itu ada sebuah desa, yang disebut dengan Koto
Baru, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Aku telah
datang ke desa itu pada waktu aku berusia lebih kurang 12 tahun, dibawa oleh
ayahku pada waktu beliau melawat ke Sumatera Tengah, dan oleh karena aku dalam
usia demikian sudah bisa pidato dan membaca kitab-kitab Tsanawiyah, maka aku
diangkat oleh famili orang tuaku degan panggilan “Malim Kecik” yang ertinya
“Alim Kecil.
Kakekku Haji Muhammad
Salim bin Malin Palito datang ke Aceh Selatan adalah selaku da’i atau pendakwah
dan juga sebagai guru agama. Di samping itu, pula paman beliau yang masyhur
dipanggil oleh masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Peulumat, yang nama
aslinya ialah Syeikh Abdul Karim, lama telah mendahului beliau, merantau ke
Aceh Selatan dan mengambil tempat tinggal di Kecamatan Labuhan Haji, juga
selaku da’i guru dan ulama, menyebarkan nilai-nilai agama Islam. Dorongan
itulah yang paling kuat bagi kakekku Haji Muhammad Salim, meninggalkan Sumatera
Barat menuju Aceh Selatan dengan kapal layar perahu pada zaman itu.
Tidak lama setelah
beliau, yakni kakekku itu berada di Kecamatan Labuhan Haji, di bawah kepimpinan
pamannya itu, maka kakekku ada jodohnya, dengan seorang wanita pilihan yang
bernama Janadar, puteri seorang Kepala Desa yang bernama Keucik Nya’Ujud, yang
berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Itulah Ibu
Kandung ayahku. Orang tua beliau seorang ulama dan ibu kandung beliau keturunan
pemimpin masyarakat yang juga dikenal di Kecamatan Labuhan Haji.
Pada waktu orang tuaku
masih kecil adik kandung beliau meninggal dunia, bahkan ibu kandung beliau
sendiri Siti Janadat berpulang ke rahmatullah. Kalau aku tidak salah, bahwa
nenekku itu meninggal dunia karena melahirkan. Ada yang mengatakan begitu. Maka
tinggallah ayahku selaku anak yatim, kehilangan ibu kandungnya. Nenekku Siti
Janadat itu paling dicintai oleh kakekku Haji Muhammad Salim, meskipun ayahku
mempunyai kakak-kakak kandungnya yang laki-laki bernama Abdullah Ghani dan
adiknya ialah Ummi Kalsum dan Siti Maliyah.
Meskipun kakak-kakak
ayahku sangat mencintai adiknya, yakni ayahku, tetapi bagi kakekku tidak
melepaskan ayahku dalam segala hal kepada kakek-kakaknya itu. Ayahku selalu
digendong oleh kakekku di atas bahunya kemana saja beliau pergi mengajar dan
berdakwah meskipun setelah itu kakekku Haji Muhammad Salim berumah tangga lagi
di suatu desa dalam Kecamatan Manggeng, tetapi tidak lama karana kecintaan
kakekku kepada ayahku adalah melebihi dari segala- galanya, termasuk atas
isteri kakek yang baru, bahkan atas puteri-puterinya yang lain. Tentu kita
dapat menggambarkan, bahwa kecintaan seorang ayah yang juga ulama, yang menjadi
ikutan umat, terhadap anaknya senantiasa dibarengi dengan doa yang tiak
putus-putusnya. Baik setelah selesai mengerjakan ibadah, atau di waktu sang
ayah di mana kalbunya terlintas pada anaknya.
Menghayati yang
demikian itu, maka aku yakin apa yang telah diceritakan oleh Syeikh Haji
Teungku Adnan Mahmud Bakongan, sahabat dan murid orang tuaku, pemimpin
Pesantren Ashabul Yamin di Bakongan Aceh Selatan, bahwa kakekku Haji Muhammad
Salim bermimpi, bahwa bulan purnama turun ke dalam pangkuan beliau dan pada
waktu itu ayahku sedang dalam kandungan ibundanya, Siti Janadat. Meskipun mimpi
tidak dapat dijadikan dalil pada hukum, tetapi dalam pemahaman isyarat, banyak
benarnya. Dan ini telah diungkapkan oleh al-Quran, yang menggambarkan mimpinya
Raja Mesir dan kemudian dita’wilkan oleh Nabi Yusuf AS, Maka kalau dita’wilkan
mimpi kakekku itu, maka nyatalah kebenarannya, bahwa puteranya yang dicintainya
itu suatu waktu akan menjadi ulama besar, suluh penerang bagi umat manusia pada
zamannya. Aku dapat mengatakan ha keadaan ini berdasarkan sedikit serupa bagi
apa yang telah terjadi dari mimpi Yusuf AS yang kemudian beliau ta’wilkan
sendiri, dengan beliau ungkapkan pada orang tuanya Nabi Ya’qub AS.
Nama ayahku pada waktu
kecil ialah Muhammad Waly. Setelah beliau berada di Sumatera Barat, dalam saf
para ulama Besar, maka beliau dipanggil dengan gelaran Angku Mudo, atau Tuanku
Mudo Waly, atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali dari Sumatera Barat ke Aceh,
di Kecamatan Labuhan Haji pada khususnya,, masyarakat memanggil beliau dengan
Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sendiri menulis namanya dengan Muhammad
Waly atau secara lengkap Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
Sedangkan ibuku yang
lain, Hajah Rabi’ah Jamil, ibu kandungnya adik-adikku Ahmad Waly dan Haji
Mawardi Waly, pernah aku lihat pada sebuah buku kecil yang ditulisnya tentang rentetan
nama orang tuaku: Syeikh Haji Muhammad Waly al Syafi’i Mazhaban wa al-Asy’ari
Aqidatan wa al-Naqsyabandi Tariqatan. Tetapi ayahku tidak pernah menulis
rentetan nama beliau dengan predikat yang demikian itu. Sebab ummiku Hajah
Rabi’ah Jamil adalah puteri kandung Syekh Muhammad Jamil Jaho, seorang ulama
besar di Sumatera Barat dan tidak ada puteri-puteri Syeikh Jamil yang agak
alim, selain puteri beliau ummiku itu.
Pulang ke Aceh
Setelah ayahku berjuang
menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti
tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah SWT, perjalanan pendidikan
beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat ulama dan hamba Allah
yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pendidikan ayahku serta pengalaman-
pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup
dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan mendirikan
pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji,
Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darussalam itu belum ada, dan adanya
nama ini setelah beliau mendirikan pesantren di desa kelahiran beliau sendiri.
Lebih kurang pada akhir
tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui perahu layar dari Padang ke
Aceh di Kecamatan Labuhan Haji. Ayahku disambut dengan meriah oleh ahli famili,
para teman dan masyarakat, Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di
desanya, maka beliau bertekad untuk membangun sebuah pesantren. Pembangunan
sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka ayahku hanya mendirikan
kali pertama sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas tempat
tinggal ayahku beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih
tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.
Yang paling besar
sekali hatinya dengan kepulangan ayahku ialah ayahanda beliau sendiri, yakni
kakekku Haji Muhammad Salim. Meskipun ayahku memimpin upacara ibadah dalam arti
yang luas, tetapi kakekku senantiasa berada di samping ayahku, turut membantu dalam
memberikan penyampaian-penyampaian ajaran Islam secara lebih khusus terhadap
para jamaah yang hadir.
Lahan tempat mendirikan
musalla yang diberikan oleh famili ayahku adalah sangat terbatas, sedangkan
jamaah umat Islam sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke surau
ayahku. Ibu-ibu pada malam Selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam
Rabu dan harinya pula. Oleh karena itu, maka ayahku ingin memperluas lahan
untuk betul-betul mulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan
tempat tinggal sekalian, yang dalam istilah Aceh disebut dengan
rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang
ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit,
hingga mencapai ukuran 400×250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung
santri-santri yang berdatagan sedikit demi sedikit dari Kecamatan Labuhan Haji,
dari Kecamatan-Kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai Kabupaten
di daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar
dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai propinsi di Pulau
Sumatera.
Pesantren itu beliau
bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut:
Pertama: Daru Muttaqin,
di bahagian ini terletak lokasi sekolah-sekolah, mulai dari tingkat rendah
sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku
tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan Tariqat Naqsyabandiyah dan
dijadikan tempat khalwah atau suluk, 40 hari dalam Ramadhan dengan 10 hari
sebelumnya, 10 hari dalam Ramadan dengan 10 hari sebelumnya, 10 hari pada awal
Zulhijjah, ditutup degan Id al-Adha dan 10 hari pada bulan Maulud, ditutup
dengan hari besar Islam Maulid Nabi Muhammad SAW.
Kedua: Darul- Arifin;
di lokasi ini bertempat tinggal guru-guru yang pada umumnya sudah berumah
tangga dan lokasi agak berdekatan ke pantai, laut samudera Hindia.
Ketiga: darul
Muta’allimin; di lokasi ini bertempat tinggal para pelajar pilihan di antaranya
guruku Syeikh Idrus bin Abdul Ghani al-Kamfari. Aku sendiri dan adik-adikku
beserta para penuntut ilmu pengetahuan lainnya. Keempat: Darus Salikin; di
lokasi ini banyak tempat tinggal dalam asramanya pelajar-pelajr yang disamping
menuntutu ilmu pengetahuan juga berkhalwah, apalagi pada bulan-bulan khalwah
seperti bulan Ramadhan, bulan Maulud dan bulan Haji, maka asrama-asrama
dilokasi ini banyak ditempati oleh orang-orang yang berkhawah. Kelima: Darul
Zahidin; Keenam: Darul Ma’la.
Semua lokasi diatas
dinamakan oleh ayahku dengan nama-nama tersebut, dengan harapan sebagai tafaul
kepada Allah SWT. semoga para penuntut ilmu pengetahuan agama yang tamatan dari
pesantren Darussalam benar-benar menjadi hamba Allah yang senantiasa belajar
seumur hidup (al Muta’allimin), menjadi hamba-hamba Allah yang bertaqwa
(al_Muttaqin), menajdi hamba-hamba Allah yang zahid, lebih mengutamakan akhirat
dari dunia (al-Zahidin), dan menjadi hamba-hamba yang salih (al-Salikin) dan
mendapat tempat yang terhomat, baik dalam pandangan masyarakat, apalagi dalam
pandangan Allah SWT. (al-Ma’la). Oleh karena itu banyak cita-cita ayahku dalam
pengembangan Islam di Aceh diperkenakan Allah. Karena itulah, hampir seluruh
pesantren di Aceh adalah berpangkal dari pesantren ayahku Darussalam Labuhan
Haji.
0 komentar :
Posting Komentar