Pemberontakan terhadap Jepang juga terjadi pada Kamis, 2 Mei 1945. Tengah malam Teungku Pang Akob bersama 40 orang pasukannya dari Lheu Simpang menyerbu tangsi militer Jepang di Pandrah. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Pandrah. Pemberontakan terhadap Jepang itu digerakkan oleh Teungku Pang Akob, Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku A Jalil. Mereka berdakwah memompa semangat rakyat untuk berperang dengan Jepang.
Jepang yang saat itu memberlakukan kerja paksa, menuia kebencian dari masyarakat. Hal itu dijadikan materi dakwa untuk memberontak. Secara pelahan-lahan rakyat membangkang terhadap kerja paksa yang diberlakukan Jepang.
Seorang pemuda bernama Nyak Umar, kemenakan Teungku Pang Akob di Desa Meunasah Dayah malah ditangkap karena membangkang menolak kerja paksa. Hal itu memberi dorongan kuat bagi Teungku Pang Akob dalam berdakwah mengkampanyekan jihad melawan Jepang.
Sebelum pemberontakan terjadi, Teungku Pang Akob pergi bertapa ke sebuah gua di Cot Kayee Kunyet, pegunungan Gle Banggalang. Sementara rakyat kampung Leu Simpang dibawah pimpinan Keuchik Johan sudah bersiap-siap untuk menunggu komando perang.
Nyak Umar yang pernah disiksa Jepang karena menolak kerja paksa, menyamar sebagai penjual obat keliling. Ia berjalan dari satu kampung ke kampung lain sambil membisikkan ajakan-ajakan jihad.
Sementara itu, Muhamamd Daud, seorang pemuda yang melarikan diri dari pendidikan Gygun, melatih para pemuda di Gle Blanggalang untuk berperang melawan Jepang. Ia meninggalkan tempat latihan militernya dibawah didikan Jepang karena ingin bergabung dalam pemberontakan yang akan dilakukan Teungku Pang Akob.
Saat itu Teungku Pang Akob tidak akan melancarkan pemberontakan terhadap Jepang pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Alasannya persiapan belum matang. Tapi karena sudah diketahui Jepang, maka pemberontakan pun dilakukan pada malam menjelang tanggal 3 tersebut.
Rahasia kelompok Teungku Pang Akob diketahui oleh Jepang dibenarkan oleh Said Ahmad dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodka (Jawatan Penerangan Aceh) mereka diberitahu dan diminta untuk berangkat ke Jeunieb. Keduanya ditugaskan untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang maksud pemerintah Jepang yang akan memberikan “kemerdekaan” kepada Indonesia termasuk Aceh.
Tapi sebelum Said Ahmad dan Abdullah TWH sampai ke sana, pemberontakan sudah terjadi pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Dalam pertempuran di malam buta tersebut, pasukan Teungku Pang Akob menyerang tangsi militer Jepang di Pandrah.
Malam itu tidak ada pasukan Teungku Pang Akob yang tewas, sementara tentara Jepang di tangsi itu berhasil di bunuh, kecuali satu orang yang berhasil melarikan diri ke induk pasukan Jepang di Jeunieb. Tujuh anggota Gyugun juga ditangkap di tangsi tersebut, tapi tidak diapa-apakan. Kemungkinan sudah ada kontak terlebih dahulu sebelum penyerangan itu dilakukan.
Setelah penyerbuan tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya mengundurkan diri ke markasnya di Gle Banggalang untuk bersiap-siap melakukan penyerbuan baru. Meski mengetahui keberadaan Teungku Pang Akob dan pasukannya, Jepang tidak menyerbu tapi menunggu mereka menyerah dan melakukan perjanjian damai.
Mereka dibujuk untuk turun gunung dan tidak akan dihukum. Said Ahmad dan Abdullah TWH dikirim sebagai utusan untuk upaya damai tersebut. Teungku Pang Akob kepada para utusan tersebut mengatakan akan turun untuk berdamai pada 5 Mei 1945 dan tentara Jepang tidak perlu naik ke Gle Banggalang.
Pagi 5 Mei 1945, para perwira Jepang sudah berkumpul di Meunasah Lheu Simpang bersama satu pasukan siap tempur. Diantara mereka terdapat pejabat beberapa pejabat daerah diantaranya Teuku Yakub, Guntyo Bireuen, Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodoka.
Mereka berkumpul di Meunasah Lheuh Simpang untuk menunggu kedatangan Teungku Pang Akob dan pasukannya dalam rangka perjanjian damai sebagaimana pernah dijanjikan dua hari sebelumnya.
Para perwira Jepang duduk di Meunasah, sementara pasukan yang siap tempur berjaga-jaga di kawasan tersebut. Tiba-tiba terdengar teriak takbir: Allahu Akbar terdengar membahana terus menerus. Gegap gempita suara takbir tersebut membuat Jepang ketakutan dan kalang kabut.
Dalam kepanikan Jepang tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya keluar dari alur rimbun yang ditutupi dedaunan. Mereka menyerbu ke perangan meunasah menebas dan menikam tentara Jepang.
Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH lari menyelamatkan diri dalam sebuah alur yang airnya tidak mengalir (alue siwong). Keduanya baru keluar setelah perang reda. Saat keluar badan mereka menempel puluhan lintah.
Pertempuran itu selain menewaskan para perwira Jepang dan serdadunya, juga Guntyo Bireuen, Teuku Yakub ikut menjadi korban. Menurut Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH, saat mereka keluar dari alur persembunyian mereka melihat tubuh-tubuh Jepang bergelimpangan bersama pasukan Teungku Pang Akob yang ikut tewas dalam perang tersebut. Kemudian diketahui jumlah pasukan mujahidin yang meninggal berjumlah 44 orang. Sampai kini Teungku Pang Akob dan pasukannya yang tewas itu dikenal sebagai Syuhada 44.
Dampak dari perang di Meunasah Lheu Simpang tersebut, Jepang melakukan penangkapan paksa di Jeunieb terhadap siapa saja yang dicurigai terlibat penyerangan tangsi militer Jepang di Pandrah dan pertempuran di Meunasah Lheu Simpang.
Para pemuda yang ditangkap dan ditawan Jepang sebagiannya setelah melalui proses pemeriksaan dan penyiksaan dibebaskan kembali dalam keadaan babak belur. 24 orang yang dianggap bersalah diangkut ke Medan, 12 diantaranya tidak lagi diperiksa tapi langsung dieksekusi mati di sana.
Mereka yang dihukum mati itu adalah: Teungku Abdul Wahab Ali, Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu Thalib, Teungku M Hamzah, Teungku M Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin Bin Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang.
12 orang lainya dihukum antara 5 sampai 12 tahun penjara dan dipenjarakan di penjara Pematang Siantar. Enam orang diantara mereka tewas dalam penjara karena mengalami penyiksaan berat. Empat dari orang yang tewas dalam penjara itu adalah Teungku Thalib Beungga, Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku Ilyas Yusuf.
Enam orang lainnya dibebaskan dan kembali ke Aceh setelah Jepang kalah. Mereka adalah Teungku Yahya, Keuchik Muhammad Ali, Teungku Muhammad Ali Tineuboek, Teungku Isham Banta Panjang, Teuku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan Ali.
Sementara 44 orang syuhada yang gugur dalam perang melawan Jepang di Meunasah Lheu Simpang, Pandrah pada 5 Mei 1945 adalah: Teungku Siti Aminah, Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Teungku Siti Aminah), Teungku Mahmud Ben, Teungku Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu, Teungku Muhammad Adam Rifin.
Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf Gagap, Nyak Abu Bakar Amin, Teungku Muhammad Amin, Teungku Mat Kasim, Teungku Meulaboh, Teungku Muhammad Hasan Banta, Teungku Suleiman Ali, Teuku Nyak Isa, Teungku Kasim, Teungku Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku Muhammad Yusuf Ben Dayah, Teungku Jalil Ben.
Keuchik Johan, Abu Keuchik Lheu, Muhammad Gam, Teungku Saleh Ismail, Teungku Ismail Ahmad, Teungku Mahmud Bin Abdurrahman, Teungku Ahmad Itam, Teungku Ibrahim Ali, Nyak Umar Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku Sulaiman Lheu, Teungku Ahmad Gampong Blang, Teungku Ahmad Usman.
Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Ismail Rifin, Teungku Abdullah Gampong Blang, Teungku Saleh Ben Tulot, Teungku Ibrahim Husin, Teungku Suud Tringgadeng, Teungku Saleh Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh Bin Abdurrahman, dan syahid yang ke 44 adalah bayi dalam kandungan Teungku Siti Aminah. [iskandar norman]
Semoga Bermanfaat, dan menjadi Pelajaran Bagi Kita