Selasa, 21 Mei 2013

Download Havij SQL Injection Tool Cracked version




Posted in HackingSQL InjectionWindows by Nita Novita sari aKa Nita NS on Mei 19, 2013

Hi,
I think most of us have known about 
Havij SQL injection automatic tool.

 I forgot what the last version I have used,
 and it was un-registered version. 
I tried to find it on the net to search for any crack version of it.
Luckily, here I found the crack version of 
Havij SQL Injection version 1.16.
Download Havij 1.16 Full With Crack here:

Or if it’s not working, download the portable version:

Nice, simple, and easy to use.

Lagu Aceh Dalam Sejarah

Musibah Beutong , beu djeuet keu peungajaran
hai teungku-teungku mandum. 
Tameusaboh droe geutanyoe lam Group Acheh dan Bloger Aceh: 
Semoga Di Aceh Jangan pernah terjadi lagi, Semoga damai selamanya terjadi di ACEH

Pembentrokan Jeunieb Aceh SYUHADA 44


Pemberontakan Pang Akob- Syuhada 44

Pemberontakan terhadap Jepang juga terjadi pada Kamis, 2 Mei 1945. Tengah malam Teungku Pang Akob bersama 40 orang pasukannya dari Lheu Simpang menyerbu tangsi militer Jepang di Pandrah. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Pandrah. Pemberontakan terhadap Jepang itu digerakkan oleh Teungku Pang Akob, Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku A Jalil. Mereka berdakwah memompa semangat rakyat untuk berperang dengan Jepang.

Jepang yang saat itu memberlakukan kerja paksa, menuia kebencian dari masyarakat. Hal itu dijadikan materi dakwa untuk memberontak. Secara pelahan-lahan rakyat membangkang terhadap kerja paksa yang diberlakukan Jepang.

Seorang pemuda bernama Nyak Umar, kemenakan Teungku Pang Akob di Desa Meunasah Dayah malah ditangkap karena membangkang menolak kerja paksa. Hal itu memberi dorongan kuat bagi Teungku Pang Akob dalam berdakwah mengkampanyekan jihad melawan Jepang.


Sebelum pemberontakan terjadi, Teungku Pang Akob pergi bertapa ke sebuah gua di Cot Kayee Kunyet, pegunungan Gle Banggalang. Sementara rakyat kampung Leu Simpang dibawah pimpinan Keuchik Johan sudah bersiap-siap untuk menunggu komando perang.

Nyak Umar yang pernah disiksa Jepang karena menolak kerja paksa, menyamar sebagai penjual obat keliling. Ia berjalan dari satu kampung ke kampung lain sambil membisikkan ajakan-ajakan jihad.

Sementara itu, Muhamamd Daud, seorang pemuda yang melarikan diri dari pendidikan Gygun, melatih para pemuda di Gle Blanggalang untuk berperang melawan Jepang. Ia meninggalkan tempat latihan militernya dibawah didikan Jepang karena ingin bergabung dalam pemberontakan yang akan dilakukan Teungku Pang Akob.

Saat itu Teungku Pang Akob tidak akan melancarkan pemberontakan terhadap Jepang pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Alasannya persiapan belum matang. Tapi karena sudah diketahui Jepang, maka pemberontakan pun dilakukan pada malam menjelang tanggal 3 tersebut.

Rahasia kelompok Teungku Pang Akob diketahui oleh Jepang dibenarkan oleh Said Ahmad dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodka (Jawatan Penerangan Aceh) mereka diberitahu dan diminta untuk berangkat ke Jeunieb. Keduanya ditugaskan untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang maksud pemerintah Jepang yang akan memberikan “kemerdekaan” kepada Indonesia termasuk Aceh.

Tapi sebelum Said Ahmad dan Abdullah TWH sampai ke sana, pemberontakan sudah terjadi pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Dalam pertempuran di malam buta tersebut, pasukan Teungku Pang Akob menyerang tangsi militer Jepang di Pandrah.

Malam itu tidak ada pasukan Teungku Pang Akob yang tewas, sementara tentara Jepang di tangsi itu berhasil di bunuh, kecuali satu orang yang berhasil melarikan diri ke induk pasukan Jepang di Jeunieb. Tujuh anggota Gyugun juga ditangkap di tangsi tersebut, tapi tidak diapa-apakan. Kemungkinan sudah ada kontak terlebih dahulu sebelum penyerangan itu dilakukan.

Setelah penyerbuan tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya mengundurkan diri ke markasnya di Gle Banggalang untuk bersiap-siap melakukan penyerbuan baru. Meski mengetahui keberadaan Teungku Pang Akob dan pasukannya, Jepang tidak menyerbu tapi menunggu mereka menyerah dan melakukan perjanjian damai.

Mereka dibujuk untuk turun gunung dan tidak akan dihukum. Said Ahmad dan Abdullah TWH dikirim sebagai utusan untuk upaya damai tersebut. Teungku Pang Akob kepada para utusan tersebut mengatakan akan turun untuk berdamai pada 5 Mei 1945 dan tentara Jepang tidak perlu naik ke Gle Banggalang.

Pagi 5 Mei 1945, para perwira Jepang sudah berkumpul di Meunasah Lheu Simpang bersama satu pasukan siap tempur. Diantara mereka terdapat pejabat beberapa pejabat daerah diantaranya Teuku Yakub, Guntyo Bireuen, Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodoka.

Mereka berkumpul di Meunasah Lheuh Simpang untuk menunggu kedatangan Teungku Pang Akob dan pasukannya dalam rangka perjanjian damai sebagaimana pernah dijanjikan dua hari sebelumnya.

Para perwira Jepang duduk di Meunasah, sementara pasukan yang siap tempur berjaga-jaga di kawasan tersebut. Tiba-tiba terdengar teriak takbir: Allahu Akbar terdengar membahana terus menerus. Gegap gempita suara takbir tersebut membuat Jepang ketakutan dan kalang kabut.

Dalam kepanikan Jepang tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya keluar dari alur rimbun yang ditutupi dedaunan. Mereka menyerbu ke perangan meunasah menebas dan menikam tentara Jepang.

Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH lari menyelamatkan diri dalam sebuah alur yang airnya tidak mengalir (alue siwong). Keduanya baru keluar setelah perang reda. Saat keluar badan mereka menempel puluhan lintah.

Pertempuran itu selain menewaskan para perwira Jepang dan serdadunya, juga Guntyo Bireuen, Teuku Yakub ikut menjadi korban. Menurut Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH, saat mereka keluar dari alur persembunyian mereka melihat tubuh-tubuh Jepang bergelimpangan bersama pasukan Teungku Pang Akob yang ikut tewas dalam perang tersebut. Kemudian diketahui jumlah pasukan mujahidin yang meninggal berjumlah 44 orang. Sampai kini Teungku Pang Akob dan pasukannya yang tewas itu dikenal sebagai Syuhada 44.

Dampak dari perang di Meunasah Lheu Simpang tersebut, Jepang melakukan penangkapan paksa di Jeunieb terhadap siapa saja yang dicurigai terlibat penyerangan tangsi militer Jepang di Pandrah dan pertempuran di Meunasah Lheu Simpang.

Para pemuda yang ditangkap dan ditawan Jepang sebagiannya setelah melalui proses pemeriksaan dan penyiksaan dibebaskan kembali dalam keadaan babak belur. 24 orang yang dianggap bersalah diangkut ke Medan, 12 diantaranya tidak lagi diperiksa tapi langsung dieksekusi mati di sana.

Mereka yang dihukum mati itu adalah: Teungku Abdul Wahab Ali, Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu Thalib, Teungku M Hamzah, Teungku M Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin Bin Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang.

12 orang lainya dihukum antara 5 sampai 12 tahun penjara dan dipenjarakan di penjara Pematang Siantar. Enam orang diantara mereka tewas dalam penjara karena mengalami penyiksaan berat. Empat dari orang yang tewas dalam penjara itu adalah Teungku Thalib Beungga, Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku Ilyas Yusuf.

Enam orang lainnya dibebaskan dan kembali ke Aceh setelah Jepang kalah. Mereka adalah Teungku Yahya, Keuchik Muhammad Ali, Teungku Muhammad Ali Tineuboek, Teungku Isham Banta Panjang, Teuku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan Ali.

Sementara 44 orang syuhada yang gugur dalam perang melawan Jepang di Meunasah Lheu Simpang, Pandrah pada 5 Mei 1945 adalah: Teungku Siti Aminah, Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Teungku Siti Aminah), Teungku Mahmud Ben, Teungku Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu, Teungku Muhammad Adam Rifin.

Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf Gagap, Nyak Abu Bakar Amin, Teungku Muhammad Amin, Teungku Mat Kasim, Teungku Meulaboh, Teungku Muhammad Hasan Banta, Teungku Suleiman Ali, Teuku Nyak Isa, Teungku Kasim, Teungku Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku Muhammad Yusuf Ben Dayah, Teungku Jalil Ben.

Keuchik Johan, Abu Keuchik Lheu, Muhammad Gam, Teungku Saleh Ismail, Teungku Ismail Ahmad, Teungku Mahmud Bin Abdurrahman, Teungku Ahmad Itam, Teungku Ibrahim Ali, Nyak Umar Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku Sulaiman Lheu, Teungku Ahmad Gampong Blang, Teungku Ahmad Usman.

Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Ismail Rifin, Teungku Abdullah Gampong Blang, Teungku Saleh Ben Tulot, Teungku Ibrahim Husin, Teungku Suud Tringgadeng, Teungku Saleh Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh Bin Abdurrahman, dan syahid yang ke 44 adalah bayi dalam kandungan Teungku Siti Aminah. [iskandar norman]


















Semoga Bermanfaat, dan menjadi Pelajaran Bagi Kita    

Tokoh Ulama


ABI HANAFIAH SAMALANGA
ABON SAMALANGA
Tgk H Abdul Aziz Bin Shaleh

Tgk Abdul Aziz Bin M Shaleh, merupakan tokoh yang cukup berpengaruh bagi masyarakat Aceh. Salah satu perannya adalah, Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga, kabupaten Bireun, sehingga mencapai kemajuan yang amat pesat.
Kemajuan kini diteruskan oleh pengurus sesudah dayah beliau. Pimpinan MUDI Mesra yang baru mengembangkan pendidikan dayah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) tanpa meninggalkan pola pendidikan dayah yang kini memiliki santri sekitar 3.000-an.
Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh. Beliau adalah salah seorang ulama kharismatik Aceh yang sering disapa dengan Abon Samalanga atau lebih dikenal dengan panggilan Abon ‘Aziz Samalanga atau Abon Mesjid Raya Samalanga. Beliau lahir di desa kandang Samalanga Kabupaten Aceh Utara (Kini-Kabupaten Bireuen) pada bulan ramadhan tahun 1351 H / 1930 M.
Abon diasuh dan dibesarkan di Jeunieb bersama kedua orang tuanya, ayahandanya pernah menjabat kepala kantor Agama (KUA) Jeuniub dan juga merupakan salah seorang pendiri Dayah ‘Atiq  Jeuniub sehingga Abon dari masa kecilnya sudah mulai belajar ilmu pendidikan agama di dayah tersebut dan Abon pada waktu itu tinggal di Jeuniub.
Ketika usia Abon telah matang, Abon menikahi seorang gadis di desa Mideun Jok Samalanga yang merupakan putri gurunya sendiri yang merupakan pimpinan Dayah Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga pada waktu itu sehingga Abon dikaruniai 4 anak, yaitu Alm. Hj. suaibah, hj shalihah, Tgk H Thaillah dan Hj Masyitah.
Abon memulai belajar pada pendidikan formal pada tahun 1937, Abon memasuki sekolah  Rakyat (SR) dan menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1944. Dari tahun 1944 beliau belajar pada orang tuanya selama 2 tahun, kemudian pada tahun 1946 beliau pindah belajar ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk Haji Hanafiah (Tengku Abi) lebih kurang selama 2 tahun.
Pada tahun 1948 Abon melanjutkan pendidikannya ke salah satu dayah yang dipimpin oleh Teungku Ben (Teungku Tanjongan) di Matangkuli Kabupaten Aceh Utara. Di dayah ini Abon belajar pada tengku Idris Tanjongan sampa dengan tahun 1949 dan pada tahun tersebut beliau kembali ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengabdikan diri menjadi guru di dayah tersebut.
Mengabdi untuk Dayah
Setelah Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh mengabdi menjadi guru. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1951 Abon melanjutkan pendidikannya ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan yang dipimpin oleh Alm. Teungku Syeikh Muhammad Wali Al-Khalidi yang lebih di kenal dengan panggilan Abuya Mudawali.

Abon belajar di Dayah Darusalam lebih kurang selama tujuh tahun, dan pada pada tahun 1958 Abon kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengembangkan ilmunya. Pada tahun tersebut pimpinan Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga meninggal dunia, sehingga Abon diangkat menjadi pimpinan Dayah tersebut.
Abon Aziz Samalanga memulai karirnya sebagai pimpinan dayah dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1989. Semenjak dayah LPI MUDI Mesjid Raya berada dibawah pimpinannya, banyak perubahan terjadi didalamnya, terutama menyangkut tentang kurikulum pendidikan yang semula tidak terlalu fokus pada ilmu-ilmu alat (bantu) ilmu manthiq, ushul, bayan, ma’ani dan lain-lain.
Akan tetapi kurikulum pendidikan pada masa kepemimpinannya lebih sangat menonjol adalah dalam bidang ilmu manthiq sehingga Abon digelar dengan Al-manthiqi.
Abon sangat disiplin dan punya semangat yang luar biasa dalam mengajar, sehingga kadang-kadang dalam keadaan beliau sakit merasa sehat untuk mengajar, dan selalu meamanahkan kepada murid-muridnya untuk belajar-mengajar (beut-seumubeut). Dalam pengajarannya, Abon sangat membenci faham wahabiyah sehingga beliau tidak pernah bosan dalam mengurai kesesatan faham tersebut.
Kemajuan Pesat
Pada masa kepemimpinan Abon, kemajuan dayah MUDI Mesra semakin meningkat pesat, jumlah santri dari ratusan menjadi ribuan, bangunan fisik dayah pun juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang terus maju. Selain dari aktifitas Abon di dayah, Abon juga membuka pengajian mingguan di Jeunieb (lebih dikenal dengan Balee Hameh) setiap seminggu sekali.

Di samping aktivitas dakwah melalui majelis pengajian, Abon juga ikut pembangunan fisik, seperti membangun jalan ke kebun di Desa Gle Mendong Samalanga dan menggarap sawah yang telah terlantar bertahun-tahun bersama-sama dengan murid-muridnya serta membantu masyarakat sekitar. Semuanya, ia lakukan untuk hidupnya perekonomian masyarakat.
Abon juga pernah memberi dukungan kepada partai politik, partai PERTI, Abon memilih partai tersebut karena di latar belakangi atas faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ada satu pesan yang sangat sering diamanahkan kepada murid-muridnya yaitu belajar-mengajar (beut-seumubeut) di mana pun berada dan dalam kondisi bagaimana pun ketika telah pulang dari dayah nantinya, walaupun dengan sebuah balai di depan rumahnya. Pesan tersebut telah menjiwai dalam pemikiran murid-murid beliau, sehingga sekarang ini dapat terlihat dengan banyaknya dayah dan balai pengajian yang dipimpin  oleh alumni Dayah LPI MUDI Mesjid Raya.
Abon dipanggil kembali kehadharat-Nya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1409/17 Januari 1989 dengan tutup usia 58 tahun di Samalanga, dan jasad beliau dikebumikan di komplek putra dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga Kabupaten Bireuen.




Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda